Accordingto Planespotters.net, eight of Garuda's 10 777-300ERs are outfitted in a two-cabin configuration, featuring 26 business- and 367 economy-class seats.The last two jets feature a premium-heavy configuration, with eight first-class suites in addition to 38 seats in business and 268 in economy. These two jets are typically deployed on higher-yielding business routes like Tokyo (NRT and
AboutUs. Rooting in the enduring appeal of Fromage cake, DORÉ by LeTAO excels in crafting quality cakes and desserts with an aim to accompany you along a gratifying journey of taste. DORÉ's intent is to bestow the golden moment of every celebration. We want you to indulge in our sweets and cakes by Sharing Love Through Sweets with your
Andthere is hardly a better, or nobler thing a film can do than inspire love. This beautiful, mysterious movie is a time-lapse study of Mason, growing up from around the age of five to 18, from
Oursupport to Indonesia focuses on strengthening the agriculture sector, including crops, livestock, forestry, marine fisheries and aquaculture which are critical to reduce poverty, develop equity across the country, improve food security, and empowering women and girls. Our work and collaboration in Indonesia has existed for over 35 years and
Thereare also welcome gifts, mini-robes and slippers, children's menus, babysitting services and plenty of family-friendly activities. Sayan, Ubud, Bali 80571, Indonesia. 00 62 361 977 577
GBH0ojj. Recommended for YouAllAnimeHome>REVIEW THE GIFT 2015 INDONESIA + PENJELASANNYA KAMU SUKA KEJUTAN? INI ADA KADO! ReviewFilm>
Gabung KomunitasYuk gabung komunitas {{forum_name}} dulu supaya bisa kasih cendol, komentar dan hal seru lainnya. Satu lagi film nasional Indonesia terbaru karya Hanung Bramantyo "THE GIFT", Film ini mengisahkan tentang Tiana Ayushita Nugraha, seorang novelis yang jatuh cinta pada Harun Reza Rahardian, lelaki dengan penglihatan yang tak sempurna tepat di hari ulang tahunnya yang ketiga puluh. Namun Tiana tidak tahu bahwa seorang teman masa kecilnya, Arie Dion Wiyoko, yang kini bekerja sebagai dokter bedah, akan melamarnya di hari yang sama. Apa yang terjadi setelahnya adalah tiga manusia berupaya memaknai ulang arti cinta dan kelumpuhan manusia. The Gift berhasil masuk sebagai salah satu film yang mendapat undangan khusus untuk tampil di Jogja-NETPAC Asian Film Festival JAFF yang ke 12 dan akan tayang di bioskop akhir maret 2018 ini. Source sinopsis bisa dilihat di website resminya 20-02-2018 1019 Diubah oleh bhumiqu 20-02-2018 1024 Judulnya sama kayaknya filmnya si Jason Bateman 22-02-2018 0932 KASKUS Maniac Posts 5,206 Reja lagi Reja lagi hahahahaa boseen boseeen 06-03-2018 1038 Reza Rahadian again... 21-04-2018 1611 Kaskus Addict Posts 3,334 Maaf, adakah aktor selain reza rahadian??? 21-04-2018 2028 Kaskus Addict Posts 2,046 reza ohh reza.... wkwkwk bosennn 21-04-2018 2154 Kaskus Addict Posts 2,049 film hanung sih biasanya ada keunikan nya gan 14-05-2018 1816 cinta segitiga ya? sprtny menarik. lbh menarik kl mas reza diganti aktor lain. 17-05-2018 0839 Kaskus Addict Posts 2,645 Sutradara nya si mas Hanung. dan... Aktor nya Reza again !!! sudahkuduga gagalpaham tepar 21-05-2018 1048 belm ada yg review nh 24-05-2018 2130 KASKUS Addict Posts 2,232 QuoteOriginal Posted By kuminitsuâ–şbelm ada yg review nh Oke ane kasih review gan Film ini kabarnya dibuat sesuai dengan keinginan Hanung Tanpa ada tekanan atau masukan dari produser Katanya Memang terasa agak beda dengan karya Hanung sebelum2nya yang menampilkan adegan dramatis menguras emosi atau air mata penonton disertai iringan musik melankolis plus bombastis Untuk film The Gift ini musik nya lebih kalem dan tenang Alurnya pun santai dan perlahan Mengingatkan sama film2 art yang segmented Tapi film The Gift lebih enak dan mudah diikuti pastinya Waktu liat trailernya ane sempet mikir kenapa pemeran utama wanita nya harus Ayu Shita? Kenapa ga artis lain yang lebih cantik dan komersil Ternyata sutradara memang ga salah pilih Akting Ayu Shita bagus dan bisa mengimbangi Reza Rahadian yang ga perlu diragukan lagi Seandainya film ini dibintangi oleh aktor dan aktris berakting kacrut entah apa jadinya 7,5/10 Salah satu film drama terbaik 2017-2018 versi ane Ga perlu bawa tissue buat yang gampang mewek Karena emang ga bikin sedih berlebihan Film ini ga seperti drama karya Hanung lain layaknya Ayat Ayat Cinta, Rudi Habibi, atau Surga tak dirindukan 2 26-05-2018 1158 QuoteOriginal Posted By AwanRainâ–şOke ane kasih review gan Film ini kabarnya dibuat sesuai dengan keinginan Hanung Tanpa ada tekanan atau masukan dari produser Katanya Memang terasa agak beda dengan karya Hanung sebelum2nya yang menampilkan adegan dramatis menguras emosi atau air mata penonton disertai iringan musik melankolis plus bombastis Untuk film The Gift ini musik nya lebih kalem dan tenang Alurnya pun santai dan perlahan Mengingatkan sama film2 art yang segmented Tapi film The Gift lebih enak dan mudah diikuti pastinya Waktu liat trailernya ane sempet mikir kenapa pemeran utama wanita nya harus Ayu Shita? Kenapa ga artis lain yang lebih cantik dan komersil Ternyata sutradara memang ga salah pilih Akting Ayu Shita bagus dan bisa mengimbangi Reza Rahadian yang ga perlu diragukan lagi Seandainya film ini dibintangi oleh aktor dan aktris berakting kacrut entah apa jadinya 7,5/10 Salah satu film drama terbaik 2017-2018 versi ane Ga perlu bawa tissue buat yang gampang mewek Karena emang ga bikin sedih berlebihan Film ini ga seperti drama karya Hanung lain layaknya Ayat Ayat Cinta, Rudi Habibi, atau Surga tak dirindukan 2 mantab reviewny gan,cek kulkas ane kash ce ndol, nti malam mw nntn skeluarga nh,coz ane ga suka starwars jd nntn lokal aja 26-05-2018 1200 KASKUS Addict Posts 2,232 QuoteOriginal Posted By kuminitsuâ–ş mantab reviewny gan,cek kulkas ane kash ce ndol, nti malam mw nntn skeluarga nh,coz ane ga suka starwars jd nntn lokal aja Oke gan terima kasih Selamat nonton Sebelum turun layar Karena film ini kalah dari film horor Alas Pati yang edar bersamaan Jangan lupa kasih review nya Oh iya Setelah film berakhir Agan akan tau kenapa film ini dikasih judul The Gift 26-05-2018 1237 Aktivis Kaskus Posts 668 QuoteOriginal Posted By AwanRainâ–şOke ane kasih review gan Film ini kabarnya dibuat sesuai dengan keinginan Hanung Tanpa ada tekanan atau masukan dari produser Katanya Memang terasa agak beda dengan karya Hanung sebelum2nya yang menampilkan adegan dramatis menguras emosi atau air mata penonton disertai iringan musik melankolis plus bombastis Untuk film The Gift ini musik nya lebih kalem dan tenang Alurnya pun santai dan perlahan Mengingatkan sama film2 art yang segmented Tapi film The Gift lebih enak dan mudah diikuti pastinya Waktu liat trailernya ane sempet mikir kenapa pemeran utama wanita nya harus Ayu Shita? Kenapa ga artis lain yang lebih cantik dan komersil Ternyata sutradara memang ga salah pilih Akting Ayu Shita bagus dan bisa mengimbangi Reza Rahadian yang ga perlu diragukan lagi Seandainya film ini dibintangi oleh aktor dan aktris berakting kacrut entah apa jadinya 7,5/10 Salah satu film drama terbaik 2017-2018 versi ane Ga perlu bawa tissue buat yang gampang mewek Karena emang ga bikin sedih berlebihan Film ini ga seperti drama karya Hanung lain layaknya Ayat Ayat Cinta, Rudi Habibi, atau Surga tak dirindukan 2 kalo dibandingkan dengan film love for sale, lebih bagus mana gan? 26-05-2018 2109 KASKUS Addict Posts 2,232 QuoteOriginal Posted By 102â–ş kalo dibandingkan dengan film love for sale, lebih bagus mana gan? Love For Sale ane belom nonton gan Jadi ga bisa bandingin 27-05-2018 0836 Setuju gan, filmnya memang begitu ada adegan donor mata. ane langsung gk sregg sama ceritanya soalnya ane tau sedikit soal donor mata. gak bisa kita donor mata kalo pendonor belum Posted By AwanRainâ–ş Oke ane kasih review gan 27-05-2018 1522 KASKUS Addict Posts 2,232 QuoteOriginal Posted By darventâ–şSetuju gan, filmnya memang begitu ada adegan donor mata. ane langsung gk sregg sama ceritanya soalnya ane tau sedikit soal donor mata. gak bisa kita donor mata kalo pendonor belum mati. Iya Ane juga agak kurang sreg sama bagian itu. Walau udah dijelaskan oleh dokter bahwa itu perbuatan ilegal. 27-05-2018 1609 Hmm, moga sukses dh penjualannya. Ane skip dulu, kurang suka genre drama indo. 29-05-2018 1257 CEK JADWAL NIH FILM PAKE ANDROID Film Bioskop 05-06-2018 1442
Exhibition Review “The Gift” The Gift, a curio of an exhibition that stems from an ongoing transnational collaborative project by the Goethe-Institut, offers a slow burn into the idea of convergences over artistic expression and transnational exchanges. Museum MACAN, Jakarta, Indonesia23 January – 23 May 2021Co-curated by Aesep Topan Museum MACAN and Jakarta-based Korean curator Jeong Ok Jeon By Elaine Thanya Marie Teo In the basement of National Gallery Singapore lies a curio of an exhibition presented by Singapore Art Museum SAM. The Gift, the result of an ongoing transnational collaborative project — Collecting Entanglements and Embodied Histories, is a subtle study in the confluences of relations and how they manifest across geographical borders. The project involves institutions from Singapore SAM, Indonesia Galeri Nasional Indonesia, Thailand MAIIAM Contemporary Art Museum, and Germany Nationalgalerie – Staatliche Museen zu Berlin. This grouping was brought together by the Goethe-Institut in 2017, to create a dialogue between the collections of the four institutions around their common interest in contemporary Southeast Asian art. The Gift is one of four exhibitions planned for the culmination of this collaborative endeavour. Quite unlike the status quo of a single travelling exhibition, Collecting Entanglements and Embodied Histories frees the curatorial team compromised of SAM’s June Yap, Galeri Nasional Indonesia’s Grace Samboh, MAIIAM’s Gridthiya Gaweewong, and Nationalgalerie’s Anna-Catharina Gebbers to embark on four interrelated exhibitions. According to Yap, the genesis of the collaboration started in 2017, and the curators found their discussions shaping up to a focus on exhibitions. On the slate of exhibitions, The Gift debuts right after MAIIAM opened ERRATA in Chang Mai, with Nation, Narration, Narcosis by Nationalgalerie due to open in November 2021 in Berlin, and The Acquiescent Allies by Galerie Nasional Indonesia rounding off the project in early 2022 in Jakarta. The weight The Gift carries in terms of expositional elements is significant and runs the danger of being overly didactic. However, what is borne out in SAM’s temporary exhibition space at National Gallery Singapore, is a quiet focus on the delicate strands of interweaving histories, and networks of intersecting modest in its curatorial framework but ultimately carrying a sharp riposte to conventional ideas of artistic exchange, The Gift takes its departure point from Korean American artist Nam June Paik’s recollection of his first meeting with Joseph Beuys in 1961. These two towering figures in the art world would go on to develop a close friendship and engage in a series of projects together right up to Beuys’ death in 1986. The Gift uses this artistic exchange as a lens to consider meaning-making behind institutional collections. The exhibition steadfastly and somewhat admirably refuses direct threads of attributing the encounter of Southeast Asian artists with Euro-American ones as the catalyst for artistic movements. This strategy of demurring from easy generalizations, is exemplified by the use of Joseph Beuys’ Energiestab Energy Staff to lead visitors into the main exhibition space. Shamanism was a shared interest between Beuys and Nam June Paik. The Energiestab 1974 epitomizes Beuys’ preconceptions of shamanistic practice with its roots stemming from the oft-repeated tale of his rescue from a plane crash while serving in the Luftwaffe regiment in 1944. The myth goes as follows somewhere around Crimea, a group of Tartars pulled Beuys out of a plane crash he was in. They nursed him to health by rubbing fat on his body and wrapping him up in felt. Energiestab itself is composed of copper and felt, two materials Beuys would refer to as crucial in the idea of healing and spirituality. In truth, the highly exaggerated tale exposed Beuys to the critique of being a mere confectioner by art historian Benjamin Buchloh, in a scathing rebuke published in Art Forum’s 1980 January issue. Joseph Beuys b. 1921, Germany; d. 1986, Germany Energiestab Energy Staff, 1974, Copper and felt 415 x cm, Collection of Staatliche Museen zu Berlin, Nationalgalerie, Marx Collection. Image Courtesy of Singapore Art Museum. Along with her institutional counterparts, June Yap’s curatorial eye lays bare Beuys’ Energiestab Energy Staff for audiences to consider Beuys’ influence across geographies. Positioned in a nook and directly across from Koh Nguang How’s documentation of two travelling exhibitions of Joseph Beuys and Käthe Kollwitz held in Singapore in 1991, Energiestab can be read in a multitude of ways. The absence of any explicit link to Joseph Beuys’ artistic practice with his regional counterparts in terms of art production within the exhibition is a particularly strong undercurrent. Instead, what we are presented with is something a lot more nuanced and restrained. Koh, as part of the National Museum Art Gallery NMAG, the predecessor to SAM and National Gallery Singapore, documented this exhibition of Beuys’ and Kollwitz’s artworks, and the audience who consumed this aesthetic display. Nestled in one of the photographs alongside the 1991 exhibition invite, is a photo depicting German curator Gunter Minas leading a tour surrounded by local Singaporean artists. In the photograph, the curator has his eyes trained on a vitrine featuring Beuys’ Samurai Sword 1982, Rhein Water Polluted 1981, and Element 1982. Of all the artists appearing in the documentation listening closely to Minas, Tang Da Wu, a seminal figure in contemporary arts in Asia and beyond, is unmistakably present. Koh Nguang How, Photos of exhibition Joseph Beuys Drawings, Objects and Prints by Koh Nguang How. Invitation card for Joseph Beuys Drawings, Objects and Prints and Käthe Kollwitz Engravings and Sculptures from the Koh Nguang How Archive. Image Courtesy of Singapore Art Museum. “The entanglements are there”- June Yap Beuys’ influence in art history is such a dense minefield that the decision to gently sidestep this influence and instead present it as a touch point for local and regional art communities is deft play by the curatorial team. June Yap further points out that these images from the 1991 exhibition serve as a strategy towards “triggering [these] memories” from the local communities to examine a particular period in the nascent contemporary arts scene in Singapore and Southeast Asia. The mirroring quality in the display of Koh’s and Beuys’ works serves as a rich entry point into the exhibition proper, with its dispersed idea of artistic influence and inheritance. In the main exhibition space, visitors are greeted with Tang Da Wu’s Monument for Seub Nakhasathien 1991. Drawing ever so slightly from Tang’s presence in Koh’s photographs, we encounter a work almost captivating in its simplicity and unpretentious scale. Tang Da Wu b. 1943, Singapore, Monument for Seub Nakhasathien, 1991, wood and plaster, dimensions variable. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. Displayed without a plinth a mode of presentation explicitly rejected by Tang in SAM’s communication with the artist, the sculpture, made of wood and plaster sits soberly on the exhibition’s floor. Rather than crafting a straight line between Tang and Beuys a curatorial entry point made possible given Tang’s performance art background, Monument for Seub Nakhasathien expands the idea of exchange inwards within Southeast Asia. Nakhasathien, a Thai ecological conservationist, succumbed to death by suicide in 1990 after a lifetime of campaigning passionately for environmental sanctuaries in Thailand. Tang’s own oeuvre has centred on themes of the ecological and the social world. His seminal works, Tiger’s Whip 1991, and They Poach the Rhino, Chop Off His Horn and Make This Drink 1989, examine the poaching of wildlife with a raw intensity. Monument for Seub Nakhasathien differs largely from this approach. The general idea of a monument, as one typically outsized, contrasts with the quiet presence of this tribute. The work hints at how shared ideas travel across Southeast Asia and speak to one another. Perhaps the clearest line linking aesthetic practices occurs in the decision to place Ahmad Sadali’s Gunungan Emas The Golden Mountain, 1980 side by side with Salleh Japar’s Gunungan II, 1989-1990. The symbolism of mountains in the Nusantara region carries heavy spiritual weight, taking Beuys’ apparitional ideal of Eurasian mysticism further into a more grounded authentic realm. The gold leaf overlay in Sadali’s Gunungan Emas explores how the elemental idea of the spiritual endures in time immemorial, working similarly with Beuy’s Energiestab, 1974 and its copper construction. Though no definite connecting line or relationship exists between these artists, the curation highlights recurring motifs as well as shared interests. Ahmad Sadali b. 1924, Indonesia; d. 1987,Indonesia Gunungan Emas The Golden Mountain, 1980. Oil, wood and canvas, 80 x 80 cm. Collection of Galeri Nasional Indonesia Gunungan Emas The Golden Mountain, installation view. In the foreground, Salleh Japar b. 1962, Singapore, Gunungan II, 1989-1990. Painting, mixed media, 107 x 102 cm. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. Moving to Japar’s Gunungan II, we see an artist building upon this symbolic imagery of mountains and expanding the compositional field to countries as diverse as Indonesia, Australia, Thailand, and Myanmar. Japar’s inclusion in The Gift and the intimate space that the exhibition devotes to his 1993 artwork, Born Out of Fire undoubtedly calls to mind the ground-breaking 1988 Trimurti exhibition held in Goethe-Institut Singapore. The exhibition involved Salleh Japar, Goh Ee Choo and S. Chandrasekaran as young upstarts who bypassed their graduation show at the Nanyang Academy of Fine Arts NAFA, and instead mounted an interdisciplinary exhibition in the Goethe-Institut. Once again, the long-intertwined history of institutional engagement becomes hard to avoid. Salleh Japar b. 1962, Singapore, Gunungan II, 1989-1990. Painting, mixed media, 107 x 102 cm. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. Installation view. Salleh Japar b. 1962, Singapore, Born out of Fire, 1993. Acrylic on canvas, plexiglass, lightbulb, wood and hunt paper, dimensions variable. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. The exhibition’s closest approximation to the concrete idea of global exchanges occurs in Donna Ong’s The Caretaker 2008, which weaves a fictional setting around the Friendship Doll Project, a cultural gift exchange programme initiated by American missionary, Reverend Sidney Gulick in 1927. Amidst rising tensions as a result of the 1924 Immigration Act passed by the United States Congress that severely limited East Asian migration, Gulick organized for a set of blue-eyed dolls to be sent to Japan as a gesture of goodwill. Japan responded in kind with its own set of kimono-clad dolls sent to the United States. Ong’s installation occupies a sizable portion of the exhibition, second only to Ampannee Satoh’s The Light 2431, 2013. The cavernous quality of the archival setting adds a fitting backdrop to the images of the deteriorated dolls, creating a sense of ominous foreboding. Considering where history leads US-Japan relations in World War II, the installation adds to the careful reserve of the curation. Ultimately, Ong’s inclusion highlights the sheer impossibilities involved in calculated exchanges across history and geographic boundaries. Donna Ong Singapore, The Caretaker, 2008. Multimedia installation, 8 x 5 x m. Collection of Singapore Art Museum. Image Courtesy of Singapore Art Museum. What The Gift offers is a slow burn into the idea of convergences over artistic expression, and transnational exchanges. The tangents deriving from initial encounters with the other are never served up neatly for audiences to consume. The exhibition proposes a studied look at diffused networks of relations within the region and Euro-American world. For all its restraint and elusiveness in rejecting firm intersecting lines across geographies, one does wonder about the limiting parameters of this attempt. Working with Goethe-Institut as its unifying facilitator and having each national collection bound by its own remits, the subtlety perhaps belies the very roots of the exhibition’s genesis. The Gift requires visitors to slowly come around to the idea of institutional collection narratives functioning at the mercy of different tangents occurring concurrently, including that of cultural policies and aspirations; it is an exhibition that requires several visits to fully comprehend and unpack the intricacy of global exchanges. The only thing that no repeated visit can tell us quite yet is whether this inter-institutional collaboration is going to be sustained, and how it might affect artistic and cultural exchanges in the years to come. ABOUT THE AUTHOR ELAINE THANYA MARIE TEOElaine Thanya Marie Teo is a writer, and researcher based in Singapore. She holds a MA in Asian Art Histories from LaSalle College of the Arts, and a BA in Psychology from Nanyang Technological University. Her research has focused on the intersection between identity, and the visual arts with a particular eye towards deconstructive theory. In 2017, She served as a panellist in Singapore’s Third Graduate Conference in Visual Culture. She was also a speaker at the State University of New York’s Art Conference in 2018. As part of Tekad Kolektif, Elaine Thanya Marie Teo is the 2021 recipient of the Objectifs’ Curator Open Call.
The Gift adalah sebuah cerita antara perempuan yang menyukai kegelapan dan laki-laki yang mengurung diri dalam kesendirian. Film ini sepenuhnya mengeksplorasi rasa dari berbagai indera sebelum ikatan romantis itu muncul. Pembahasan di artikel ini The Gift ini film yang manis tapi yang paling saya suka dari film The Gift adalah penokohannya yang kuat dan lain yang saya suka adalah interaksi yang mempengaruhi kecepatan waktu cerita. Sepertinya permainan ini yang menjadi semacam “inti” The visual, film ini enak untuk yang menyebalkan dari film ini adalah “kebetulan” yang keterlaluan. The Gift ini film yang manis tapi pedih. Bikin hati saya nelangsa. Sepanjang film dianugerahi yang manis manis, eh after-taste-nya pahit. Mas Hanung tega nian. Gini caramu supaya filmmu memberi kesan mendalam? Gini? Ngga, Mas, ini saya bukan benci filmnya. Gemes aja. Saya terdiam agak lama setelah layar hitam muncul. “Kenapa film ini selesai woy? Lanjutkan dulu lah. Ya ampun, ini terlalu menyedihkan. Kami menuntut happy ending bagi semua pihak!” gitu. Biasalah, menuntut hal utopis. Seharusnya sejak nonton trailer, saya sudah mengekspektasikan kesedihan. Poin yang paling saya suka dari film The Gift adalah penokohannya yang kuat dan dalam. Setiap tokoh memiliki latar belakang dan alasan yang kuat untuk muncul dalam film. Tidak ada yang hanya tempelan’. Saya menunggu-nunggu kemunculan dan mengawasi setiap tokoh, meskipun itu cuma Lono dan bapak-bapak yang bersih-bersih di rumah Harun. Poin lain yang saya suka adalah interaksi yang mempengaruhi kecepatan waktu cerita. Sepertinya permainan ini yang menjadi semacam “inti” The Gift. Saat Tiana dan Harun berinteraksi, waktu rasanya berjalan dengan lebih lambat. Perlahan semua emosi itu tertuang. Canggung tapi terasa lebih lengkap dan tepat. “Aku tuh merasa nyambung sama kamu,” kalau kata Tiana ke Harun. Rasa yang berbeda muncul saat Tiana bersama Arie. Lebih cepat. Tiba-tiba ada pertemuan, hadiah, janji lama, dan lain-lainnya. Cepat sekali, lalu tiba-tiba sudah di Italia. Tadinya saya mempertanyakan tempo yang tidak konsisten ini. Setelah dipikir-pikir, ini efek interaksi tokoh utamanya. Oh, saya juga menyukai suatu bagian film yang mengaburkan batas antara imajinasi dan realita. Rasanya kesadaran saya ditarik sampai berada di posisi yang setara dengan Tiana. Kesadaran atas hal ini baru saya dapatkan setelah film usai. Aih, cakep. Secara visual, film ini enak untuk ditonton. Sepertinya sudah banyak ulasan lain yang sejalan dengan opini saya. Pergerakan kamera, setting lokasi, wardrobe, make up pula. Secara khusus, saya menyukai penampilan Tiana. Eyeshadownya oke banget. Panutan. Satu-satunya yang menyebalkan dari film ini adalah “kebetulan” yang keterlaluan. “Kebetulan” itu muncul, seakan untuk menyeret cerita The Gift supaya segera selesai. Tidak masalah, tapi—lain waktu—kalau bisa dihindari. Catatan mengandung spoiler Ada satu hal yang masih membuat saya bertanya-tanya. “Ini illegal, Harun,” kata Arie setelah menjelaskan beberapa kenyataan pahit yang perlu diterima Harun—bersamaan dengan hadiah manis. Apanya yang ilegal? Sepertinya semua baik-baik saja. Sumpah ya, tadinya saya pikir Arie membunuh Tiana. Visited 620 times, 1 visits today
Hanung Bramantyo kembali menuangkan cerita epic melalui film terbarunya, The Gift. Diperankan oleh tiga artis papan atas yakni Ayushita, Reza Rahardian dan Dion Wiyoko, film ini siap menggugah cara pandangmu terhadap kehidupan dan cinta. Karena ada tiga cast terkenal di dalamnya, tentu kamu bisa menebak bahwa ini adalah cinta segitiga. Tapi tenang, jangan takut kalau kamu tidak terlalu suka film picisan, The Gift sama sekali gak receh, yang sudah menonton, kamu bisa membaca review ini sambil mencocokkan ingatanmu saat menontonnya. Tapi buat kamu yang belum, sebaiknya skip saja halaman ini karena akan mengandung banyak spoiler. Oke, langsung saja ini dia reviewnya!1. Pemeran utama bernama Tiana, seorang anak kecil yang melihat sendiri ibunya gantung diri Wow! Pada poin pertama, IDN Times sengaja membuat kamu mengernyit dengan pembukaan yang blak-blakan barusan. Ya, memang Tiana yang masih kecil melihat sendiri Ibunya gantung diri di hadapannya. Tidak perlu memikirkan bagaimana psikologis Tiana saat itu karena sudah jelas jawabannya – hancur. Nah, film ini dimulai dengan kenangan-kenangan masa kecil Tiana yang dikemas secara apik dan rapi. Menggunakan alur maju-mundur, perpindahan antara Tiana kecil dan dewasa sesuai pada porsinya dan tidak terlalu film dimulai, kamu akan disuguhkan dengan dialog antara Tiana dan Bimo, sahabatnya. Tiana suka sekali bicara dengan Bimo lewat telepon karena rupanya mereka menjalin long distance friendship. Buat kamu yang mengharapkan akan ada percikan asmara antara Tiana dan Bimo, siap-siap kecewa kerana itu tidak akan terjadi, mereka murni adalah seorang penulis, novelis lebih tepatnya. Dia cukup terkenal sampai di awal cerita ada bagian di mana cameo tak dikenal minta foto dengannya. Namun, dia mengalami masa surut dalam hidupnya dengan stuck alias tidak bisa menulis. Bayangkan saja seorang penulis yang seharusnya melahirkan karya, malah tidak bisa melanjutkannya karena kehabisan ide. Bukannya menghabiskan imajinasi, Tiana malah menghabiskan uang tabungannya untuk bayar kos dan beli semua peralatan pertama pun, kamu sudah pasti bisa menangkap bahwa Tiana bukan sosok yang periang. Dia bahkan tidak terlalu banyak tersenyum. Kecuali saat dia bicara pada Bimo, dia baru akan tertawa. Bimo adalah temannya sejak kecil di yayasan tempat dia dibesarkan. Setelah ayahnya pergi meninggalkan Ibunya secara kasar, Ibunya stres dan gantung diri di for your information, sebelum ayahnya pergi keluarga Tiana juga tidak lebih baik. Ayah Ibunya selalu bertengkar dan membuat onar di rumah mereka sendiri. Tiana sang anak kecil pun lebih suka bersembunyi di lemari sambil menangis karena pertengkaran orangtuanya. Dari situ, Tiana menganggap bahwa tidak ada tempat seaman dan senyaman lemari. Bukan hanya sempit, lemari juga identik dengan gelap dan Tiana menikmati kegelapan itu. Dia bahkan suka sekali memejamkan mata sekalipun tidak untuk tidur. Dia suka membayangkan impiannya dengan mata yang Tiana, penulis yang suka memejamkan mata itu kemudian bertemu dengan anak Jenderal yang buta, Harun namanya Cerita berlanjut ketika pemilik kos tempat Tiana tinggal adalah Harun, anak seorang Jenderal yang buta. Awalnya, first impression mereka tidak berjalan dengan baik karena Harun yang suka sekali mendengarkan musik dengan keras dan itu sangat membuat Tiana terganggu. Namun, karena manisnya cara Harun mengirim ucapan permintaan maaf di depan pintu kamar Tiana, mereka akhirnya bertemu dalam situasi baik. Harun mengundang Tiana sarapan pagi, itu adalah pertemuan pertama mereka muka dengan muka. Saat pertama kali bertemu, Tiana tidak menyadari bahwa Harun itu buta. Harun merokok, Tiana mengambil asbak di depannya dengan tujuan melihat-lihat. Namun tindakan Harun membuang abu di tempat di mana asbak itu sebelumnya berada membuat Tiana akhirnya tahu kebutaan Harun. Pertemuan mereka berjalan apa adanya dan terus-menerus. Seakan selalu saja ada alasan untuk membersamakan mereka dalam satu adegan, asisten rumah tangga Harun yang dipanggil Simbok harus dirawat di Rumah Sakit karena terjatuh, di situlah akhirnya Tiana dan Harun sering bertemu. Harun orangnya brewok dan kaku. Dia juga kasar sekali kalau marah. Suka membanting dan berteriak. Hanya Simbok yang sabar dengan kelakuan Harun Karena adanya kesamaan cerita hidup, Tiana dan Harun seakan terhubung dengan dunia hitam putih Tiana dengan masa lalu yang kacau, tentu menimbulkan luka baginya walau dia terlihat baik-baik saja. Dan bukan hanya Tiana yang punya masalah di sini, Harun juga. Dia memiliki ayah yang kasar dan suka mengatai istrinya atau Ibu Harun sendiri. Karena mereka keluarga kaya, Harun mengaku akan jadi sangat puas ketika bisa mengendarai mobil baru ayahnya sampai rusak alias Tiana, dia bercerita awal mula mengapa dia bisa buta. Saat itu Harun pergi ke Kaliurang dengan ngebut-ngebutan, saat ada turunan, dia mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan inilah yang membuat Tiana tanpa sadar nyaman dengan Harun. Sekalipun lelaki itu buta, Tiana tidak terpengaruh dengan itu dan dengan sabar menemani keseharian Harun yang kesepian. Mereka sering pergi berdua akhirnya. Ke pantai, menari tradisional bersama bahkan membuat gerabah. Tiana mengizinkan Harun meraba wajahnya dan Harun pun tampak bahagia dengan kedekatan mereka. Tidak ada lagi Harun yang kasar dan suka marah. Yang ada hanya Harun yang suka tersenyum dan Pihak ketiga datang, konflik juga datang. Namanya Arie, diperankan oleh Dion Walau tidak ada deklarasi resmi bahwa Tiana dan Harun berpacaran, namun mereka sudah melakukan hal-hal yang sepasang kekasih lakukan seperti berpelukan dan mencium kening. Tunggu, ini belum happy ending. Jangan kecewa dulu karena setelah itu datanglah pihak ketiganya yaitu Arie, teman masa kecil Tiana yang lain. Bedanya dengan Bimo, kalau Bimo tinggal bersamanya di yayasan sedangkan Arie adalah anak yang punya dari kehidupan hitam putih milik Tiana dan Harun, Arie menjalani kehidupan warna-warni sejak kecil. Orangtuanya kaya dan rukun. Impian sejak kecilnya yang ingin jadi dokter pun tercapai. Dia baik, tampan dan kaya, kurang bahagia apa coba Arie ini?Dia datang mengunjungi Tiana yang akhirnya membuat konflik bermunculan dengan hebatnya. Tiana jadi bingung, dilema, tidak tahu harus apa. Dia pun berbohong pada Harun dan berkata dia akan menemui penerbit, padahal dia hendak menemui Arie. Jadilah saat itu malam-malam Arie mengantar Tiana pulang dan melamarnya di depan rumah. Sudah jelas, semua itu didengar oleh Harun yang punya pendengaran super Harun kembali jadi sosok pemarah yang suka berteriak. Dia menyalahkan Tiana yang berbohong padanya. Dia juga mengungkapkan kalimat menyayat hati tentang kebutaannya. “Sebagai laki-laki aku tahu aku tidak bisa diandalkan, harusnya aku yang tahu diri,” katanya sebelum mengusir Tiana keluar dari kamar dari ekspektasi orang yang mungkin berpikir “Ah, pasti Tiana milih Harun,” itu salah besar karena Tiana justru mengenakan cincin dari Arie dan ikut dengannya ke Italia. Mereka tinggal di sana, Arie bekerja sebagai dokter dan Tiana melanjutkan menulisnya yang tidak selesai itu. Oh ya, jangan lupa bahwa selama poin 1-4 di atas, Tiana masih suka berdialog dengan Bimo di juga Review Film 212 The Power Of Love Kisah Jurnalis Saat Aksi 2 Desember5. Beberapa waktu setelah itu, Arie kedatangan pasien baru di rumah sakitnya, Arie ternyata dokter mata dan Harun sampai terbang ke Italia untuk menyembuhkan matanya pada Arie. Lucunya, mereka tidak mengenali satu sama lain. Walau Harun mendengar jelas lamaran Arie pada Tiana kala itu, ternyata Harun tak menghafal suara tersebut. Dan karena nama lengkap Arie adalah Haryadi, maka Harun sama sekali tidak mengira bahwa Arie adalah pria yang melamar Tiana dan merenggut kebahagiaan itu hilang jadi semakin seru karena penanganan Harun membutuhkan proses panjang. Harun harus siap menunggu pendonor karena saat itu sama sekali tidak ada pendonor. Harun pun menyetujui dan mengatakan dia sudah terbiasa menunggu. Dia juga menyampaikan alasannya ingin melihat lagi pada Arie, bahwa tidak lain adalah karena seorang wanita. Arie pun menyatakan kebaikan hatinya dengan menawarkan untuk mencari wanita itu sehingga dia meminta foto pada Harun yang memang menyimpan foto Tiana dan dirinya ketika menari tradisional pun dengan polos langsung memberikannya pada Arie. BOOM!6. Kejutan lain datang dari sosok Bimo, yang ternyata hanya khayalan Tiana Ini bisa jadi bagian yang paling saya sukai. Pasalnya, Ketidak beradaan sosok Bimo sama sekali tidak kentara. Dari awal, dialog antara Bimo dan Tiana adalah yang paling menenangkan, menyejukkan dan membuat nyaman. Namun itu ternyata tidak nyata. Tiana lah yang menciptakan Bimo dalam pernah ada Bimo, Tiana tidak pernah punya sahabat, nasihat Bimo bukan berasal dari Bimo tapi dari dirinya sendiri. Terungkapnya hal ini membuktikan kegelapan sosok Tiana yang sebenarnya, bahwa Tiana memang berada dalam dunia yang gelap, dan sekali lagi, dia malah menikmati kegelapan Harun bisa melihat lagi berkat operasi cerdas dari Arie sang dokter Sampai pada masa-masa akhir film, kamu akan melihat betapa bahagianya Harun ketika bisa melihat lagi dengan baik. Dia sangat bahagia sampai memeluk Arie dengan keras. Setelah semua euphoria itu reda, mulailah Arie yang gantian menjatuhkan meriam ke kehidupan Harun, “Bagi saya, kebahagiaan itu selalu ada ongkosnya. Paling tidak begitu saya diajarkan. Dan kebahagiaan karena bisa melihat lagi harus dibayar dengan menerima kenyataan ini. Yang pertama, saya adalah Arie yang melamar Tiana di depan rumah anda. Dan yang kedua, Tiana memilih untuk meninggalkan kita berdua.”Begitu kurang lebih monolog jantan dari Arie si baik hati. Sambil menangis dia mengatakannya yang kemudian mendapat balasan air mata juga dari Harun. Mereka sama-sama sangat mencintai Tiana yang pergi dengan tidak memilih Jalan cerita cocok dengan judul film, ya The Gift Semua yang ada dalam film ini adalah tentang pemberian. Secara literal, memang mata Tiana menjadi pemberian penglihatan bagi Harun. Tiana bukan hanya memberikan penglihatan tapi juga kehidupan bagi Harun. Namun, secara esensi, Harun juga memberikan kehidupan bagi setelah buta, Tiana terlihat jauh-jauh lebih bahagia dibanding ketika dia bisa melihat. Ketika seseorang mengalami posisi paling gelap dalam hidupnya, hanya ada dua pilihan yang bisa orang itu ambil; yang pertama adalah mencari warna dan mencoba menghilangkan kegelapan tersebut dan yang kedua adalah menjauhkan diri dari segala warna, kemudian berdamai dengan kegelapan itu sendiri – dan sudah jelas sejak awal – bahwa Tiana adalah yang dia tadi review singkat padat merayap dari film The Gift yang masih tayang di bioskop sekarang ini. Buat kamu yang belum nonton, tidak ada salahnya menyempatkan waktu untuk sejenak masuk dalam kehidupan Tiana-Harun-Arie ini. Dan dari semua review di atas, IDN Times memberikan bintang 4/ lupa dukung terus perfilman Indonesia dengan menontonnya langsung di bioskop, ya! Jangan suka yang bajakan, apalagi merekam dalam bioskop, dosa! Sampai bertemu di review berikutnya!Baca juga [REVIEW FILM] Takut Kawin Menikah adalah Sebuah Perjalanan Satu Arah
the gift review indonesia